Logo BBC

Mengapa Masih Ada Orang yang Menyangkal Pandemi COVID-19?

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Seperti diketahui, pemerintah awalnya menyangkal keberadaan wabah ini, salah satunya dengan komentar termasyhur dari mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahwa "flu lebih berbahaya dari corona".

Kemudian setelah kasus Covid-19 pertama ditemukan pada Maret 2020, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB. Namun setelah memperpanjang PSBB beberapa kali, pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 dan memperkenalkan kebijakan "new normal".

Najmah dan kolega menyebut "new normal" sebagai bentuk propaganda penyangkalan Covid. "Itu menjadi alasan bagi pemerintah untuk berfokus pada pemulihan ekonomi dan mengecilkan potensi dampaknya dengan mempromosikan uji coba vaksin Covid-19," tulis para peneliti.

Maksud ini kian terang seiring komando penanganan wabah beralih dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke Komite Penanganan COVID-2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), yang dikepalai Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, dan sekarang berada di Kemenko Kemaritiman dan Investasi.

Pemerintah juga kerap memberikan pesan yang bertolak belakang satu sama lain. Pernyataan Menko Manves Luhut Pandjaitan yang bersikeras bahwa Covid terkendali, dan beberapa hari kemudian meminta maaf karena varian Delta tidak bisa dikendalikan adalah contoh terbaru.

Contoh lainnya adalah larangan mudik pada Idul Fitri, namun pada saat yang sama mendorong warga untuk liburan.

Menurut Najmah, semua itu menciptakan ketidakpercayaan di antara masyarakat. Ketika masyarakat tidak percaya pada institusi dan informasi resmi, ia menjelaskan, mereka akan lebih mempercayai orang-orang sekitar mereka.

Pun ketika ada orang yang mereka kenal sakit atau meninggal dalam keadaan positif Covid, mereka cenderung mengaitkan kematiannya dengan penyakit bawaan.

"Masyarakat melihatnya [Covid] itu di berita saja ramainya. Di sekitar mereka aman-aman saja," tutur Najmah.

Najmah dan kolega juga mendapati adanya persilangan antara kelas, agama, dan propaganda Covid denial. Mereka menemukan bahwa semakin relijius seseorang, semakin cenderung untuk tidak percaya pada Covid. Para peneliti berpendapat bahwa sikap tawakal (berserah diri kepada Tuhan) mengurangi upaya orang-orang untuk mengambil langkah pencegahan dalam kehidupan sehari-hari.